Jumat, 20 Juni 2014

OBSTRUKSI PARU



Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit yang ditandai dengan hambatan aliran udara di saluran nafas yang tidak sepenuhnya reversibel. Hambatan aliran udara ini bersifat progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun atau berbahaya.
Bronkitis kronik dan emfisema tidak dimasukkan definisi PPOK karena bronchitis kronik merupakan diagnosis klinis sedangkan emfisema merupakan diagnosis patologi.
Dalam menilai gambaran klinis pada PPOK harus memperhatikan hal-hal sebagai
berikut:
a.       Onset (awal terjadinya penyakit) biasanya pada usia pertengahan,
b.      Perkembangan gejala bersifat progresif lambat,
c.       Riwayat pajanan, seperti merokok, polusi udara (di dalam ruangan, luar ruangan dan tempat kerja),
d.      Sesak pada saat melakukan aktivitas,
e.      Hambatan aliran udara umumnya ireversibel (tidak bisa kembali normal).

Diagnosis dan Klasifikasi (Derajat) PPOK
Dalam mendiagnosis PPOK dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang (foto toraks, spirometri dan lain-lain). Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan foto toraks dapat menentukan PPOK Klinis. Apabila dilanjutkan dengan pemeriksaan spirometri akan dapat menentukan diagnosis PPOK sesuai derajat (PPOK ringan, sedang dan berat) Diagnosis PPOK Klinis ditegakkan apabila:
1.      Anamnesis:
a.      Ada faktor risiko
-          Usia (pertengahan)
-          Riwayat pajanan
-          Asap rokok
-          Polusi udara
-          Polusi tempat kerja

b.      Gejala:
Gejala PPOK terutama berkaitan dengan respirasi. Keluhan respirasi ini harus diperiksa dengan teliti karena seringkali dianggap sebagai gejala yang biasa terjadi pada proses penuaan.
-          Batuk kronik
Batuk kronik adalah batuk hilang timbul selama 3 bulan yang tidak
hilang dengan pengobatan yang diberikan
-          Berdahak kronik
Kadang kadang pasien menyatakan hanya berdahak terus menerus
tanpa disertai batuk
-          Sesak nafas, terutama pada saat melakukan aktivitas
Seringkali pasien sudah mengalami adaptasi dengan sesak nafas
yang bersifat progressif lambat sehingga sesak ini tidak dikeluhkan.
Anamnesis harus dilakukan dengan teliti, gunakan ukuran sesak
napas sesuai skala sesak.

·         Skala Sesak
Skala sesak Keluhan sesak berkaitan dengan aktivitas
0 = Tidak ada sesak kecuali dengan aktivitas berat
1 = Sesak mulai timbul bila berjalan cepat atau naik tangga 1 tingkat
2 = Berjalan lebih lambat karena merasa sesak
3 = Sesak timbul bila berjalan 100 m atau setelah beberapa menit
4 = Sesak bila mandi atau berpakaian

2.      Pemeriksaan fisik:
Pada pemeriksaan fisik seringkali tidak ditemukan kelainan yang jelas terutama auskultasi pada PPOK ringan, karena sudah mulai terdapat hiperinflasi alveoli. Sedangkan pada PPOK derajat sedang dan PPOK derajad berat seringkali terlihat perubahan cara bernapas atau perubahan bentuk anatomi toraks. Secara umum pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan hal-hal sebagai berikut:
Inspeksi
·         Bentuk dada: barrel chest (dada seperti tong)
·         Terdapat cara bernapas purse lips breathing (seperti orang meniup)
·         Terlihat penggunaan dan hipertrofi (pembesaran) otot bantu nafas
·         Pelebaran sela iga
Perkusi
·         Hipersonor
Auskultasi
·         Fremitus melemah,
·         Suara nafas vesikuler melemah atau normal
·         Ekspirasi memanjang
·         Mengi (biasanya timbul pada eksaserbasi)
·         Ronki

3.      Pemeriksaan penunjang:
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada diagnosis PPOK antara
lain :
-          Radiologi (foto toraks)
-          Spirometri
-          Laboratorium darah rutin (timbulnya polisitemia menunjukkan telah
terjadi hipoksia kronik)
-          Analisa gas darah
-          Mikrobiologi sputum (diperlukan untuk pemilihan antibiotik bila terjadi
eksaserbasi)
Meskipun kadang-kadang hasil pemeriksaan radiologis masih normal pada PPOK ringan tetapi pemeriksaan radiologis ini berfungsi juga untuk menyingkirkan diagnosis penyakit paru lainnya atau menyingkirkan diagnosis banding dari keluhan pasien. Hasil pemeriksaan radiologis dapat berupa kelainan :
-          Paru hiperinflasi atau hiperlusen
-          Diafragma mendatar
-          Corakan bronkovaskuler meningkat
-          Bulla
-          Jantung pendulum
Dinyatakan PPOK (secara klinis) apabila sekurang-kurangnya pada anamnesis ditemukan adanya riwayat pajanan faktor risiko disertai batuk kronik dan berdahak dengan sesak nafas terutama pada saat melakukan aktivitas pada seseorang yang berusia pertengahan atau yang lebih tua.
Catatan:
* Untuk penegakkan diagnosis PPOK perlu disingkirkan kemungkinan adanya asma bronkial, gagal jantung kongestif, TB Paru dan sindrome obstruktif pasca TB Paru. Penegakkan diagnosis PPOK secara klinis dilaksanakan di puskesmas atau rumah sakit tanpa fasilitas spirometri. Sedangkan penegakan diagnosis dan penentuan klasifikasi (derajat) PPOK sesuai dengan ketentuan Perkumpulan Dokter Paru Indonesia (PDPI) / Gold tahun 2005, dilaksanakan di rumah sakit / fasilitas kesehatan lainnya yang memiliki spirometri.
c.       Penentuan klasifikasi (derajat) PPOK
Penentuan klasifikasi (derajat) PPOK sesuai dengan ketentuan Perkumpulan Dokter Paru Indonesia (PDPI) / Gold tahun 2005 sebagai berikut :
1.      PPOK Ringan
Gejala klinis:
-          Dengan atau tanpa batuk
-          Dengan atau tanpa produksi sputum.
-          Sesak napas derajat sesak 0 sampai derajat sesak
-          Spirometri:
·         VEP1 • 80% prediksi (normal spirometri) atau
·         VEP1 / KVP < 70%
2.      PPOK Sedang
Gejala klinis:
-          Dengan atau tanpa batuk
-          Dengan atau tanpa produksi sputum.
-          Sesak napas : derajat sesak 2 (sesak timbul pada saat aktivitas)
-          Spirometri:
·         VEP1 / KVP < 70% atau
·         50% < VEP1 < 80% prediksi.
3.      PPOK Berat
Gejala klinis:
-          Sesak napas derajat sesak 3 dan 4 dengan gagal napas kronik.
-          Eksaserbasi lebih sering terjadi
-          Disertai komplikasi kor pulmonale atau gagal jantung kanan.
-          Spirometri:
·         VEP1 / KVP < 70%,
·         VEP1 30% dengan gagal napas kronik
Gagal napas kronik pada PPOK ditunjukkan dengan hasil pemeriksaan analisa
gas darah, dengan kriteria:
-          Hipoksemia dengan normokapnia atau
-          Hipoksemia dengan hiperkapnia.

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan PPOK dibedakan atas tatalaksana kronik dan tatalaksana eksaserbasi, masing masing sesuai dengan klasifikasi (derajat) beratnya (Lihat Buku Penemuan dan Tatalaksana PPOK) Secara umum tata laksana PPOK adalah sebagai berikut:
1.      Pemberian obat obatan
a.       Bronkodilator
Dianjurkan penggunaan dalam bentuk inhalasi kecuali pada eksaserbasi digunakan oral atau sistemik
b.      Anti inflamasi
Pilihan utama bentuk metilprednisolon atau prednison. Untuk penggunaan
jangka panjang pada PPOK stabil hanya bila uji steroid positif. Pada
eksaserbasi dapat digunakan dalam bentuk oral atau sistemik
c.       Antibiotik
Tidak dianjurkan penggunaan jangka panjang untuk pencegahan eksaserbasi.
Pilihan antibiotik pada eksaserbasi disesuaikan dengan pola kuman setempat.
d.      Mukolitik
Tidak diberikan secara rutin. Hanya digunakan sebagai pengobatan
simtomatik bila tedapat dahak yang lengket dan kental.
e.       Antitusif
Diberikan hanya bila terdapat batuk yang sangat mengganggu. Penggunaan
secara rutin merupakan kontraindikasi.
2.      Pengobatan penunjang
a.       Rehabilitasi
b.      Edukasi
c.       Berhenti merokok
d.      Latihan fisik dan respirasi
e.       Nutrisi
3.      Terapi oksigen
Harus berdasarkan analisa gas darah baik pada penggunaan jangka panjang atau pada eksaserbasi. Pemberian yang tidak berhati hati dapat menyebabkan hiperkapnia dan memperburuk keadaan. Penggunaan jangka panjang pada PPOK stabil derajat berat dapat memperbaiki kualitas hidup

4.      Ventilasi mekanik
Ventilasi mekanik invasif digunakan di ICU pada eksaserbasi berat. Ventilasi
mekanik noninvasif digunakan di ruang rawat atau di rumah sebagai perawatan
lanjutan setelah eksaserbasi pada PPOK berat
5.      Operasi paru
Dilakukan bulektomi bila terdapat bulla yang besar atau transplantasi paru
(masih dalam proses penelitian di negara maju)
6.      Vaksinasi influenza
Untuk mengurangi timbulnya eksaserbasi pada PPOK stabil. Vaksinasi influensa
diberikan pada:
a.       Usia di atas 60 tahun
b.      PPOK sedang dan berat



Pentingnya Membatasi Konsumsi Daging Merah Olahan




Untuk menjaga kesehatan jantung, American Heart Association (AHA) merekomendasikan diet yang menekankan pada buah-buahan, sayuran, biji-bijian, produk susu rendah lemak, unggas, ikan, dan kacang-kacangan. Mereka juga menyarankan untuk makan ikan yang kaya akan omega-3 seperti salmon, trout, dan ikan haring setidaknya tiga kali seminggu.
AHA merekomendasikan bahwa masyarakat harus makan lebih banyak ayam, ikan, dan kacang-kacangan daripada daging merah. “Tidak apa-apa untuk makan daging merah selama anda membatasi jumlahnya”, demikian rekomendasi mereka. Namun demikian, masyarakat disarankan untuk memilih daging tanpa lemak dan membatasi asupannya kurang dari 6 ons per hari.
Penelitian yang dilakukan oleh para peneliti dari Karolinska Institutet di Stockholm, Swedia, adalah penelitian pertama yang menguji secara terpisah efek-efek dari daging merah yang telah diolah ataupun belum diolah. Penelitian tersebut mencatat rincian tentang asupan makanan dan faktor gaya hidup lainnya, dan melibatkan sebanyak 37.035 pria berusia 45-79 tahun yang tidak memiliki riwayat gagal jantung, penyakit jantung iskemik, atau kanker mulai dari tahun 1998 hingga 2010.
Menganalisa data dari masa studi selama 12 tahun, para peneliti menemukan bahwa 2.891 pria diketahui mengalami gagal jantung dan 266 meninggal karenanya. Mereka yang makan daging merah olahan paling banyak (lebih dari 75 gram per hari) adalah 28% lebih mungkin untuk mengembangkan gagal jantung dibandingkan dengan mereka yang makan sedikit daging merah olahan (kurang dari 25 gram per hari).
Para peneliti menghitung bahwa untuk setiap kenaikan konsumsi daging olahan sebesar 50 gram, risiko akan terjadinya gagal jantung meningkat sebesar 8% dan risiko kematian akibat gagal jantung meningkat hingga 38%.
Walaupun demikian, penelitian ini tidak mengamati hubungan apapun antara gagal jantung atau kematian dan orang-orang yang makan daging merah non-olahan.
Para peneliti mengatakan bahwa temuan mereka sejalan dengan hasil penelitian ‘Health Physicians’, di mana orang-orang yang makan daging merah paling banyak memiliki risiko 24% lebih tinggi untuk mengalami gagal jantung dibandingkan dengan pria yang mengonsumsi sedikit daging merah. Mereka juga berharap untuk menemukan keterkaitan yang sama terhadap penelitian yang sedang dilakukan saat ini pada wanita.
Berdasarkan temuan ini, penulis utama penelitian ini, Joanna Kaluza, PhD, memberikan saran pola makan berikut :
“Untuk mengurangi risiko gagal jantung dan penyakit kardiovaskular lainnya, kami menyarankan untuk menghindari daging merah olahan dalam pola makan sehari-hari dan membatasi jumlah pengonsumsian daging merah non-olahan untuk satu atau dua porsi per minggunya. Sebaliknya, konsumsilah makanan-makanan seperti buah-buahan, sayuran, produk gandum, kacang-kacangan, dan juga ikan.”
via MedicalNewsToday | image : drkevinlentin.co.za